Satu hal yang harus kuakui tentang tanah kelahiranku adalah, tidak akan terlalu dikenal dunia bila tidak terhantam bencana tsunami dahsyat pada desember 2004. Bahkan ketika tsunami menghantam, dunia semula lebih banyak memberitakan bagaimana Thailand terkena gelombang maut yang memporak-porandakan wilayah wisata Phuket yang tersohor itu.
Tapi, dalam hitungan jam, banyaknya korban dan parahnya kehancuran, membuat dunia mendadak mengenal kembali nama Aceh. Provinsi di ujung terbarat Indonesia, negara tropis yang melintang sebagai sabuk di garis katulistiwa. Nah, kawan. Adakah kau perhatikan, kutuliskan kalimat ‘mengenal kembali’, bukan hanya sekedar tahu.
Karena memang provinsi ini dulu adalah sebuah kerajaan besar. Britania yang kini dikenal dengan Inggris, mengakui keberadaannya sebagai nama besar yang harus dihargai dan diwaspadai. Portugis dan Spanyol menghormatinya. Turki yang saat itu adalah salah satu superstate dunia, menjalin kerjasama militer, pendidikan dan dagang. Bahkan aku pernah membaca, kota Salem, Massachusetts, di Amerika sana pernah menjalin kerjasama dagang dengan kerajaan Aceh.
Tapi bertahun kemudian setelah Indonesia merdeka, kampung halamanku hanya dikenal dengan perang dan perang. Pemberontakan DI/TII, lalu konflik militer yang berkepanjangan, hingga kemudian damai datang. Yang ironisnya justru karena tsunami tadi.
Kita sudahi saja bicara sejarah, karena aku ingin kita bicara soal tempat yang bisa kau jadikan tujuan wisata kuliner dan alam. Bukan soal perang atau politik.
Kawan, bila kau merencanakan wisata, mungkin nama Aceh tak masuk dalam agenda perjalananmu. Atau kalau ku sebut Bali, Lombok, atau mungkin kota Jogja. Nah itu ku rasa kau sudah kenal. Kalaupun kau kenal Aceh, mungkin hanya pada tiga hal. Mie Aceh, Kopi, dan Ganja.
Mungkin bagi beberapa, pernah mendengar tentang pulau Weh atau Sabang, pulau yang merupakan bagian dari Aceh, tempat 0 (nol) Kilometernya wilayah Indonesia diletakkan, ada tugunya, dan bisa mendapat sertifikatnya, tanda kau pernah berkunjung ke tugu 0 KM. Pulau Sabang terutama dikenal dikalangan pecinta kegiatan menyelam, diving. Maklumlah nama itu lumayan sering dibicarakan karena wisata alam bawah laut dan pantainya.
Tapi Aceh bukan hanya itu kawan. Ikutlah aku, kita pulang ke kampung halamanku. Dan aku hanya akan mengajakmu menelusuri tempat yang dekat-dekat saja. Hanya menjelajahi ibu kota provinsi, kota Banda Aceh, dan sedikit diluarnya. Karena menjelajahi dan menikmati seluruh tempat yang menarik di Aceh, tak mungkin bila hanya dalam satu minggu.
Sulitkah menuju Aceh? Tak sulit kawan. Maskapai penerbangan nasional, dan internasional punya rute menuju Aceh. Dari Jakarta, kau bisa langsung terbang ke Aceh, hanya 45 menit. Dari Kuala Lumpur, Malaysia juga ada rute penerbangan langsung menuju Aceh.
Lalu setelah sampai di Banda Aceh, bagaimana dengan penginapan? Tenang saja, ada banyak hotel, dari yang bertaraf tak punya bintang hingga yang berstandar internasional. Mau yang lebih murah lagi juga ada, sekelas wisma juga banyak.
Untuk yang punya modal, kendaraan bisa disewa. Banyak sudah penyedia jasa mobil dan motor rental. Tapi bagaimana dengan kalian yang kondisinya sama sepertiku, berkantong pas-pasan dengan dana seadanya? Transportasi lokal cukup memadai. Dan sudah didukung oleh peraturan daerah, soal harga angkutan.
Lalu, apa saja yang bisa kau nikmati dalam perjalanan kita ini?
Sebelum kita lanjutkan, izinkan aku berkata jujur. Aku tidak berencana mengajakmu ke semua tempat-tempat yang terlalu mudah kau temukan dengan mengetik kata kunci soal wisata di Banda Aceh, lalu mencarinya di google. Aku ingin mengajakmu menikmati wisata yang akan menjadi kenangan menarik bagimu. Baik itu soal kuliner maupun tempat wisata. Beberapa tempat itu memang akan ku bawa kau kesana, tapi beberapa lainnya, nah ini adalah tempat menarik yang menjadi kebanggaan para penjelajah lokal.
Mesjid Raya Baiturrahman (dibangun tahun 1879)
Kita mulai dengan yang bisa kau temukan dengan mudah di google, Mesjid Raya Baiturrahman, mesjid yang menjadi landmark kota Banda Aceh, bahkan sebagian orang menganggap belum berkunjung ke Aceh bila belum berfoto di mesjid ini. Tak sulit menuju ke mesjid ini, karena memang terletak dipusat kota, tak jauh dari terminal pusat Labi-labi, sebutan untuk mobil angkutan umum di Aceh. Selain itu juga ada becak motor.
Ada teman yang bertanya, kapan saat yang paling tepat menyaksikan kemegahan Mesjid Raya Baiturrahman. Saat menjelang shalat Subuh kawan, itu saat yang tepat. Sekitar jam 4 pagi. Bila kau seorang muslim, ini momen baik sekaligus melaksanakan shalat berjamaah di mesjid yang indah ini. Kalaupun kau bukan pemeluk agama Islam, kau tak akan menyesali bagun pagi-pagi buta untuk melihat kemegahannya.
Mengapa tak siang hari saja? Sebenarnya tak soal kau datang dan melihatnya kapanpun dan jam berapapun, mesjid ini tetap sangat indah. Tapi ada satu kelebihan yang bisa didapat saat itu yang tak dimiliki waktu lainnya.
Satu hal yang paling menyebalkan bagiku, bila ingin menikmati keindahan arsitektur suatu bangunan, terlebih bila bernilai religi dan sejarah, adalah bila terganggu dengan keramaian. Jam menjelang subuh, jalanan masih sepi, udara masih sangat segar. Posisi kota Banda Aceh yang dipesisir pantai memberikan udara yang cukup sejuk, tak sampai dingin menusuk, malah memberi efek pendukung yang memadai ketika memandang ke bangunan mesjid bersejarah itu.
Berdirilah di depan gerbang utamanya, dan saksikan pemandangan menawan itu. Lampu-lampu yang ditata dibawah barisan pohon palem, bersinar lembut menerangi batang dan daun yang bergerak lembut dihembus angin pesisir. Lampu lainnya ditata menerangi pelataran yang mengelilingi mesjid, dengan motif khas yang berusia cukup tua. Lalu dipusat semuanya, mesjid yang dibangun kembali pada tahun 1879 sebagai permohonan maaf Belanda pada rakyat Aceh. Pengganti mesjid asli yang terbakar saat agresi militer Belanda. Mesjid aslinya dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda, tahun 1612 M. Mesjid yang dibangun dengan dominasi warna putih dan kubah hitam itu semula hanya memiliki satu kubah. Lalu pada tahun 1935 dilakukan penambahan dan pelebaran sisi kanan dan kiri. Kubahnya jadi tiga. Lalu dalam rentang tahun 1959-1968 dilakukan penambahan dua kubah lagi dan dua menara. Setelah itu masih ada perbaikan lagi, terutama ketika dilaksanakannya Musabaqah Tilawatil Quran/MTQ Nasional tahun 1981. Mesjid ini sekarang memiliki tujuh kubah.
Lampu yang ditata disekitarnya menerangi ukiran yang memenuhi mesjid. Pendar cahayanya membentuk motif dan corak tersendiri, bahkan menghasilkan pola bayangan indah pada pintu ukir megah yang menghiasi seluruh pintu masuk mesjid.
Dibagian dalam mesjid, ukiran dengan motif khas perpaduan ukiran tradisional Aceh dan timur tengah memberi nuansa yang khas. Lampu gantung aslinya masih ada dibagian utama, bangunan asli yang masih bisa ditemukan dengan mudah.
Kawan, ini mesjid yang kabarnya merupakan salah satu mesjid terindah di Indonesia.
Setelah puas mengamati mesjid, tunggu sebentar sampai cukup terang dgn cahaya matahari pagi, lalu berjalanlah ke pintu barat. Di bawah sebatang pohon, akan kau temukan satu monumen. Di situlah tempat tertembaknya Mayor Jenderal JHR Kohler pada tahun 1873. Ada beragam cerita soal tewasnya Kohler ini kawan, namun kabarnya inilah salah satu aksi tembak runduk yang diakui Belanda. Seorang sniper, penembak jitu, dari pasukan Aceh, bersembunyi di rumpun alang-alang yg tumbuh tinggi, dalam catatan lain dikatakan bersembunyi di reruntuhan bangunan, menembak Mayjen Kohler tepat dikepalanya.
Kerkhoff, komplek pemakaman militer Belanda terbesar di luar Belanda.
Bukan hanya Mayjen Kohler tentara belanda yang gugur di Aceh. Tak terlalu jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman, terdapat satu area pemakaman yang bersejarah. Saksi bisu dahsyatnya peperangan di Aceh.
Sekitar 2.200 tentara Belanda, termasuk empat orang jenderal dimakamkan disini. Kenangan pahit kekalahan Belanda. Ah, kawan,mungkin ini setara dengan pahitnya kekalahan Belanda menghadapi Napoleon.
Komplek pemakaman militer Kerkhoff ini adalah komplek pemakaman militer belanda terbesar kedua di dunia. Tak ada komplek semacam ini milik militer belanda ditempat lain. Satu-satunya yang lebih besar hanyalah yang terdapat di negeri belanda.
Selain nilai sejarahnya, nisan-nisan kuno yang terdapat di Kerkhoff ini juga menjadi daya tarik arsitektur tersendiri. Motif dan disain yang bercorak khas membawa warna eropa di tanah Aceh. Tak hanya itu, hal menarik lainnya kawan, makam-makam itu juga menceritakan kisah penghuninya kepadamu. Jangan kau bayangkan cerita hantu kawan, tapi pada batu nisan makam, ada dituliskan secara singkat kisah hidup mereka yang dimakamkan disitu.
Masih ada satu hal menarik lagi.
Terpisah dengan makam lainnya, ada satu makam yang berbeda. Nah, itu adalah makam Meurah Pupok. Ia bukan serdadu atau jenderal belanda. Ini adalah makam putra Sultan Iskandar Muda. Getir cerita makam ini.
Meurah Pupok, dihukum mati oleh ayahnya, sang Sultan. Bukan karena benci, namun menegakkan keadilan. Putra sultan ini terbukti melakukan zina dengan istri seorang perwira muda yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh. Meski pedih, tapi Sultan menjunjung keadilan. Hukuman diberikan sesuai aturan yang berlaku.
Makam putra Sultan ini adalah simbol penegakan keadilan oleh seorang pemimpin.
Sampai sekarang, komplek Kerkhoff ini masih ramai dikunjungi oleh turis asing, terutama dari belanda.
(Bersambung)
Source: www.discoveraceh.com |
Mengapa tak siang hari saja? Sebenarnya tak soal kau datang dan melihatnya kapanpun dan jam berapapun, mesjid ini tetap sangat indah. Tapi ada satu kelebihan yang bisa didapat saat itu yang tak dimiliki waktu lainnya.
Satu hal yang paling menyebalkan bagiku, bila ingin menikmati keindahan arsitektur suatu bangunan, terlebih bila bernilai religi dan sejarah, adalah bila terganggu dengan keramaian. Jam menjelang subuh, jalanan masih sepi, udara masih sangat segar. Posisi kota Banda Aceh yang dipesisir pantai memberikan udara yang cukup sejuk, tak sampai dingin menusuk, malah memberi efek pendukung yang memadai ketika memandang ke bangunan mesjid bersejarah itu.
Berdirilah di depan gerbang utamanya, dan saksikan pemandangan menawan itu. Lampu-lampu yang ditata dibawah barisan pohon palem, bersinar lembut menerangi batang dan daun yang bergerak lembut dihembus angin pesisir. Lampu lainnya ditata menerangi pelataran yang mengelilingi mesjid, dengan motif khas yang berusia cukup tua. Lalu dipusat semuanya, mesjid yang dibangun kembali pada tahun 1879 sebagai permohonan maaf Belanda pada rakyat Aceh. Pengganti mesjid asli yang terbakar saat agresi militer Belanda. Mesjid aslinya dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda, tahun 1612 M. Mesjid yang dibangun dengan dominasi warna putih dan kubah hitam itu semula hanya memiliki satu kubah. Lalu pada tahun 1935 dilakukan penambahan dan pelebaran sisi kanan dan kiri. Kubahnya jadi tiga. Lalu dalam rentang tahun 1959-1968 dilakukan penambahan dua kubah lagi dan dua menara. Setelah itu masih ada perbaikan lagi, terutama ketika dilaksanakannya Musabaqah Tilawatil Quran/MTQ Nasional tahun 1981. Mesjid ini sekarang memiliki tujuh kubah.
Source: www.islamicartdb.com |
Lampu yang ditata disekitarnya menerangi ukiran yang memenuhi mesjid. Pendar cahayanya membentuk motif dan corak tersendiri, bahkan menghasilkan pola bayangan indah pada pintu ukir megah yang menghiasi seluruh pintu masuk mesjid.
Dibagian dalam mesjid, ukiran dengan motif khas perpaduan ukiran tradisional Aceh dan timur tengah memberi nuansa yang khas. Lampu gantung aslinya masih ada dibagian utama, bangunan asli yang masih bisa ditemukan dengan mudah.
Kawan, ini mesjid yang kabarnya merupakan salah satu mesjid terindah di Indonesia.
Setelah puas mengamati mesjid, tunggu sebentar sampai cukup terang dgn cahaya matahari pagi, lalu berjalanlah ke pintu barat. Di bawah sebatang pohon, akan kau temukan satu monumen. Di situlah tempat tertembaknya Mayor Jenderal JHR Kohler pada tahun 1873. Ada beragam cerita soal tewasnya Kohler ini kawan, namun kabarnya inilah salah satu aksi tembak runduk yang diakui Belanda. Seorang sniper, penembak jitu, dari pasukan Aceh, bersembunyi di rumpun alang-alang yg tumbuh tinggi, dalam catatan lain dikatakan bersembunyi di reruntuhan bangunan, menembak Mayjen Kohler tepat dikepalanya.
Kerkhoff, komplek pemakaman militer Belanda terbesar di luar Belanda.
Bukan hanya Mayjen Kohler tentara belanda yang gugur di Aceh. Tak terlalu jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman, terdapat satu area pemakaman yang bersejarah. Saksi bisu dahsyatnya peperangan di Aceh.
Sekitar 2.200 tentara Belanda, termasuk empat orang jenderal dimakamkan disini. Kenangan pahit kekalahan Belanda. Ah, kawan,mungkin ini setara dengan pahitnya kekalahan Belanda menghadapi Napoleon.
Komplek pemakaman militer Kerkhoff ini adalah komplek pemakaman militer belanda terbesar kedua di dunia. Tak ada komplek semacam ini milik militer belanda ditempat lain. Satu-satunya yang lebih besar hanyalah yang terdapat di negeri belanda.
Selain nilai sejarahnya, nisan-nisan kuno yang terdapat di Kerkhoff ini juga menjadi daya tarik arsitektur tersendiri. Motif dan disain yang bercorak khas membawa warna eropa di tanah Aceh. Tak hanya itu, hal menarik lainnya kawan, makam-makam itu juga menceritakan kisah penghuninya kepadamu. Jangan kau bayangkan cerita hantu kawan, tapi pada batu nisan makam, ada dituliskan secara singkat kisah hidup mereka yang dimakamkan disitu.
Masih ada satu hal menarik lagi.
Meurah Pupok, dihukum mati oleh ayahnya, sang Sultan. Bukan karena benci, namun menegakkan keadilan. Putra sultan ini terbukti melakukan zina dengan istri seorang perwira muda yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh. Meski pedih, tapi Sultan menjunjung keadilan. Hukuman diberikan sesuai aturan yang berlaku.
Makam putra Sultan ini adalah simbol penegakan keadilan oleh seorang pemimpin.
Sampai sekarang, komplek Kerkhoff ini masih ramai dikunjungi oleh turis asing, terutama dari belanda.
(Bersambung)
Rencananya mau diikutkan ke lomba apa ini?
ReplyDeleteTulis Nusantara, Qie. Begitu teringat eh dah lewat T_T
Delete